Monday, March 16, 2009

Pianis Cacat dan Terbelakang Mental, yang Jadi Motivator Internasional

Fantasie Impromptu karya Frederic Chopin yang terkenal rumit dan cepat itu hanya dimainkan dengan empat jari? Yes, why not?

Oleh Iwan, http://amoretvita.files.wordpress.com/2007/05/hee-ah-lee.jpg

Hee Ah Lee, pianis berusia 21 tahun asal Korea itu membuat 1000 penonton di Balai Kartini, Jakarta, terkagum-kagum tak ada habisnya, dalam konser bertajuk “Sharing The Strength of Love” (31/3/07).

Hee menderita lobster claw syndrome, pada masing-masing ujung tangannya terdapat dua jari yang membentuk huruf V seperti capit kepiting. Kakinya hanya sebatas bawah lutut, sehingga tinggi badannya hanya satu meter. Ia juga mengalami keterbelakangan mental.

Subhanallah… it’s a miracle, yang dihadirkan oleh seorang yang cacat dan keterbelakangan mental.Riwayat Masa Kecil dan Ketekunan Pendidikan MentalHee lahir dari Woo Kap Sun (50). Woo telah mengetahui sejak awal bahwa anaknya akan terlahir cacat. Sanak keluarga Woo menganggap itu sebagai aib.

Mereka menyarankan agar bayi itu dikirim ke panti asuhan. Woo menolak saran tersebut. Ia menerima Hee sebagai kenyataan dan anugerah.Woo merawat, mendidik dan memperkenalkan Hee pada kehidupan nyata. Ia memperlakukan Hee sebagaimana anak-anak lain. Untuk melatih kekuatan otot tangan, Hee diajarinya bermain piano sejak usia 6 tahun.

Saat itu, jarinya belum mampu mengangkat pensil. Saat umur Hee Ah menginjak tujuh tahun, tangannya masih belum bisa berfungsi. Memegang pensil pun tak bisa. Woo menggunakan piano kecil di rumah untuk melatih tangan Hee Ah.

Dengan kondisi keterbelakangan mental dan sulit berhitung, tidak mudah mengajarinya main piano dengan nada-nada yang harus "dihitung-hitung".Hee Ah juga didampingi guru. Cho Mi Kyong merupakan guru pertamanya. Guru inilah yang mengajari Hee Ah dasar-dasar bermain piano.

Cho adalah guru yang keras, karena memperlakukan Hee Ah sebagai layaknya orang yang bermain dengan 10 jari. Ia tidak melatih Hee dengan pertimbangan rasa kasihan karena kondisi fisik. Hee pun berpindah dari satu guru ke guru lainnya, disamping belajar sendiri dibimbing ibunya yang dengan penuh kasih sayang serta kesabaran yang luar biasa, menemani Hee kemana saja.

Always Keep Fighting Spirit and Never Give up...“Bayangkan Anda makan satu jenis makanan terus menerus. Aku pernah bosan. Tapi, aku memakannnya terus. Aku berlatih terus menerus,” kata Hee tentang ketekunan, “Aku berlatih terus hingga lelah dan menangis. Betapa sulit bermain dengan empat jari. Susah sekali bagiku memainkan notasi yang bersambungan.”

Sikap Percaya diri yang ditanamkan dalam menghadapi segala cobaanKehidupan keluarganya serba sulit. Selain mengurus dirinya (Hee Ah), ibunya juga harus merawat ayahnya yang veteran tentara Korea. Sebagian tubuh ayahnya lumpuh karena terluka saat bertugas.

Belum selesai satu cobaan, cobaan lain datang. Lutut Hee Ah luka dan terserang penyakit. Luka itu disebabkan Hee Ah terlalu sering berjalan dengan lutut. Maklum, Hee Ah yang tak punya kaki harus berjalan menggunakan lututnya. Hee ah masuk rumah sakit dan harus dioperasi.

Saat Hee Ah sedang sakit, ayahnya juga sakit parah. Woo (ibunya) pun tak luput dari penyakit kanker payudara. Mungkin ini akibat kecapekan dan stres tiada henti yang dialami ibunya. Parahnya, Hee Ah mogok tak mau main piano. Woo sedih sekali.

Namun, Woo sadar, Hee Ah sedang dalam masa puber. Mungkin dia sedang banyak pikiran. Hee Ah pun harus sampai masuk rumah sakit jiwa. Tetapi apa kata para dokter? Mereka bilang, satu-satunya solusi adalah Hee Ah harus tetap main piano. Akhirnya, Woo bertekad untuk mengajari Hee Ah main piano dari awal lagi.

Ibunya berusaha mengembalikan rasa percaya diri Hee Ah. Ibunya berkata, "Kalau kamu berhenti dari sekarang, tidak ada orang yang akan memandang kamu. Kamu pun tidak akan percaya diri. Tenang aja, Tuhan akan membantu dan berada di samping kamu. Karena kekurangan jari, kamu mungkin tidak seperti orang kebanyakan. Tetapi karena kamu punya kekurangan, Tuhan pun pasti akan lebih memberi."

Begitulah cara sang ibu menanamkan rasa percaya diri. Ia menggembleng Hee agar tumbuh mandiri, penuh percaya diri dan bersemangat baja menghadapi hidup.

Salah satu ketekunan dan kerja kerasnya, untuk bisa memainkan karya Chopin Fantasie Impromptu, Hee berlatih 5 - 10 jam sehari selama 5 tahun. Hasilnya memang luar biasa. Umur 12 tahun, Hee telah menggelar resital piano tunggal.

Wow...Menjadi Pianis Terkenal dan Motivator DuniaDalam video tersebut, Anda sudah melihat, Hee Ah memainkan karya-karya sulit komposer dunia hanya dengan keempat jarinya! Berbagai nomor dari pianis kondang seperti Chopin, Bethoven, dan Mozart telah dikuasainya. Ia bisa memainkan Piano Concerto No 21 dari Mozart bersama orkes simphoni. Ia juga telah mendapat sederet penghargaan atas keterampilan bermain piano, seperti penghargaan Overcoming Physical Difficulty dari presiden Korea, Kim Dae Jong. Ia juga mendapat penghargaan sebagai salah satu siswa terbaik di Seoul oleh Korean Education Department.

Tawaran konser di luar negeri pun mengalir. Sejak April 2006, ia mendapat sponsor dari Ministry of Education & Human Resource Development, untuk keliling dunia selama 9 bulan menggelar konser di berbagai negara. Ia pernah bermain bersama pianis Richard Clayderman (di USA) dan Thames Philharmonic Orchestra (di Inggris).

Pianis yang telah diangkat sebagai warga kehormatan Korea ini telah mengeluarkan satu album bertitel "Hee Ah, A Pianist with Four Finger", yang menampilkan komposisi klasik favorit.. Luar biasa...!!!

Perjuangan Tiada Henti. Saat karier Hee Ah mulai menanjak, kesedihan kembali melanda keluarganya. Ayah Hee Ah meninggal dunia. Demi mengurus semua keperluan Hee Ah, ibunya terpaksa berhenti dari pekerjaannya. Ia akan selalu bertekad membuat Hee Ah bahagia. Ibunya berkata, "Jika nanti saya sudah tidak ada, saya yakin pasti ada orang yang lebih sayang padanya. Kalau bisa, sebelum saya meninggal, Hee Ah telah menemukan pasangan yang benar-benar bisa melindungi dan mencintainya setulus hati agar dia bisa hidup bahagia. Sebagai pengganti Ibunya."

Rasa bangga dan bahagia tampak jelas di raut wajah ibunya. Bagaimana tidak, berkat didikannya (yang disertai ketekunan, cinta kasih dan pengorbanan), Hee Ah bisa dengan mudah memegang sendok dan sumpit. Kini, ibunya yang telah sembuh dari kanker payudara senantiasa setia menemani sang putri tour keliling dunia.

He Ah memang telah membuktikan dirinya bisa berprestasi berkat ketekunannya.Pelajaran yang didapat :He Ah Lee menjadi inspirasi bagi mereka yang merasa diri sempurna untuk berbuat sesuatu bagi kehidupan. Kekuatan kasih telah merubah ”kekurangan” menjadi kekuatan.

Ibunya menjalani kehidupan sebagai permainan menurut aturan disiplin, untuk kemudian menikmati permainan dengan segenap perjuangan! Dikarunia seorang anak yang cacat, rasa kecewa tampaknya sukar dihindari (karena manusiawi sifatnya). Dengan semangat menjalani kehidupan sebagai permainan, ibunya dapat terhindar dari rasa kecewa. Sang ibu yang berhati tegar ini menanamkan semangat dan sikap optimistis di hati putrinya. Ini dilakukannya agar si anak dijauhkan dari sikap pesimistis dalam kehidupannya.

Dari Hee Ah Lee, kita belajar tentang kerendah-hatian, ketekunan, kesabaran, kerja keras dan percaya diri, dalam bentuknya yang paling nyata.

Sunday, March 15, 2009

Amal Alghozali: Berguru kepada Petani

Mengabdi negeri dengan pupuk biologi. Nekat beli pabrik dengan uang SPP anak.

Oleh Iwan Ngungsi, Jawa Pos, 26 Januari 2008

Keyakinan bahwa era biologi segera menggeser era informasi mendorong Amal Alghozali menekuni bidang sarana produksi pertanian. Lewat pupuk biologi buatannya, dia mencita-citakan Indonesia bisa memenuhi kebutuhan pangan.

LAHIR dari sebuah desa miskin di kawasan selatan Madiun, Jawa Timur, Amal Alghozali sejak kecil terbiasa hidup dengan petani. Karena itu, 10 tahun lalu, saat memutuskan berhenti berkarir sebagai profesional di Jakarta dan menggeluti dunia petani,dia mengaku sudah mantap.

“Petani adalah kelompok sosial paling sabar di Indonesia. Harga panen jatuh, tetap menanam. Pupuk mahal, tetap menanam. Tidak bisa mendapatkan kredit bank, juga tetap menanam,” katanya kepada Jawa Pos di kantornya, sebuah ruko kawasan Bumi Serpong, Tangerang.

Amal kini memang tidak sekadar “bergaul” dengan petani. Lewat produk pupuk biologinya, Agrobost, pria berusia 42 tahun itu menjadi fenomena di Indonesia. Saban tahun dia dipacu lebih sering berkeliling ke lahan-lahan petani di Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia. Tahun ini, misalnya, dia akan melayani permintaan 200 ribu hektare tanaman pangan (padi dan jagung).

“Itu setara dengan omzet sekitar 1,2 juta liter pupuk cair,” katanya.Lulusan Universitas Muhammadiyah, Jakarta, itu sebelumnya tidak pernah menyangka akan menggantungkan hidup kepada sektor yang menopang kurang lebih 60 persen masyarakat Indonesia tersebut.

“Yang paling susah adalah mengalihkan mental dari pekerja profesi dengan gaji besar menjadi wirausaha. Sebab, pengeluarannya pasti, sementara untungnya belum tentu,” ujarnya.Maklum, profesi terakhir yang disandang Amal Alghozali adalah kepala pemberitaan TPI.

Keinginannya berbisnis membawa dia kepada berbagai macam jenis usaha. Mulai importer daging yang akhirnya bangkrut karena tergulung fluktuasi dolar hingga menjadi produsen Agrobost.

Kini kerja kerasnya membuahkan hasil. Dengan pabrik seluas 1,8 hektare di kawasan Serpong, Tangerang, yang mampu memproduksi 9 juta liter per tahun, berbagai penghargaan nasional dia raih sebagai pengakuan. Dia kini sedang melakukan finalisasi perjanjian kerja sama senilai USD 57 juta (sekitar Rp 535,8 miliar) dari sebuah perusahaan pemasaran ternama asal Tiongkok.
Amal ketika mengunjungi sebuah lahan pertanian jagung di Thailand, belajar bagaimana cara menanam jagung ala negeri itu yang menggunakan teknologi tepat guna buatan dalam negeri.
______________________________________
Agrobost juga berencana melakukan re-launching pada 15 Juni mendatang. Bertempat di Gelora Bung Karno, Jakarta, acara tersebut bertema Relaunching dan Awakening Seminar yang bertepatan dengan 100 tahun kebangkitan nasional. Acara itu, rencananya, dihadiri 100 ribu orang. Acara tersebut akan diorganisasi oleh Unicore, sebuah organisasi pemasaran yang dipimpin seorang marketer ternama Louis Tendean.
Unicore selama ini men-support Tiansi Group, perusahaan raksasa MLM (multi level marketing) dari Tiongkok.Amal merintis bisnis dari nol. Saat awal memulai di Pondok Gede, Bekasi, kapasitas produksinya hanya 4.000 liter. Dia berbekal Rp 40 juta yang digunakan untuk membeli alat produksi dan mempekerjakan beberapa karyawan.
Namun, peruntungannya datang setelah membeli pabrik di kawasan Serpong tiga tahun lalu. Sebelum memiliki pabrik, dia mengaku sering berputar-putar dengan sepeda motor di dekat rumahnya, kompleks Astek Serpong.
“Saya harus beli pabrik ini, tekad saya dalam hati saat itu,” katanya saat melihat sebuah pabrik yang mangkrak.
Kemudian, dia menanyakan kepada satpam yang menjaga pabrik tersebut. Ternyata pabrik itu tidak dijual. Meski demikian, dia tidak patah arang. Dia tetap menegosiasi pemiliknya. Uang Rp 3 juta -SPP tiga anaknya yang sedang menuntut ilmu di SD dan SMP Al-Azhar- pun diserahkan sebagai uang muka.
“Setelah itu, anak saya 3 bulan tak bayar SPP. Mobil saya sudah di Pegadaian. Itu masa-masa terberat dalam hidup saya,” kenangnya.Berbekal uang muka itu, Amal mengundang berbagai koleganya, baik pengusaha maupun politisi, untuk melakukan presentasi mengenai produknya di lokasi “pabrik baru”.
“Saya yakin bahwa produk kami bagus. Saya hanya perlu citra yang bagus atas pabrik ini,” katanya.Namun, tantangan yang berat tak membuat dia menyerah. Bermodal moto yakin, syukur, dan ikhlas, Amal sedikit demi sedikit bisa meyakinkan para petani.
“Ternyata bicara dengan petani maupun politisi itu sama. Harus langsung pada pokok masalah. Tidak boleh terlalu lama berteori,” paparnya. Amal mencontohkan, saat berbicara dengan petani, dia hanya memaparkan data-data hasil percobaan yang dilakukan.

“Jadi, singkat saja. Biaya turun, hasilnya naik. Habis perkara,” sebutnya.Amal menambahkan, petani lebih memerlukan bukti daripada janji yang muluk-muluk. Dia juga tidak ingin memaksa petani untuk menggunakan produknya. Kalau berhasil, petani juga tidak langsung lantas mengakui hasil produknya.

“Seperti saat menghadapi petani binaan Kiai Lutfi. Mereka malah bilang produktivitas mereka memang naik. Tapi, itu belum tentu gara-gara Agrobost. Yang jelas, gara-gara doa Kiai Lutfi,” katanya lantas tersenyum.

Hal yang sama juga dilakukan saat memberikan presentasi kepada anggota DPR maupun DPRD di daerah. “Saya sempat dicuekin. Lalu, saya katakan, jangan harap dipilih lagi kalau tidak segera membenahi masalah pertanian kita. Akhirnya, mereka baru menganggap saya serius,” katanya. (*)

Saturday, March 14, 2009

Kristison, Jadi Dokter Berkat Jualan Pulsa

Berkat jualan pulsa, Kristison Simbolon, meraih gelar dokter gigi pada April 2008.


Oleh Mohammad Hilmi Faiq, Kompas, 16 Maret 2009

Kris, panggilannya, memiliki tujuh kios telepon seluler dan 14 karyawan. Ia juga menitipkan beberapa barang dagangan kepada belasan kios milik teman-teman dengan sistem konsinyasi.

"Saya tak pernah membayangkan bisa hidup cukup seperti sekarang," kata lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung, ini.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bandung tahun 1998, ia paham betul tak bisa hidup berkecukupan. Orangtuanya adalah petani yang hanya mampu memberi dia bekal Rp 1 juta untuk biaya pendaftaran dan administrasi kuliah. Ia hanya mengantongi sisa uang sebesar Rp 200.000, dan tak ada lagi dana kiriman dari kampung.
Untuk bertahan hidup sehari-hari, Kris berjualan mi instan untuk teman-teman di asrama yang lembur mengerjakan tugas kuliah. "Mereka malas mencari makan ke luar asrama," katanya.
Selain itu, ia juga menjual bolpoin untuk teman-teman sekampus. Kris juga bekerja sebagai penjaga tempat penyewaan VCD di bilangan Jatinangor, Sumedang, tak jauh dari lokasi kampusnya. Upahnya waktu itu Rp 2.500 per hari.

Setelah sekitar setahun bekerja sebagai penjaga penyewaan VCD, Kris memahami seluk-beluk pemasaran sekaligus jaringan distribusi VCD. Tahun 2000 ia mendirikan tempat penyewaan VCD sendiri karena animo mahasiswa menyewa VCD relatif tinggi. Ketika itu ia hanya punya modal Rp 800.000, sedangkan untuk sewa tempat setahun saja diperlukan Rp 4 juta.

Tak kehabisan akal, ia berusaha meyakinkan si pemilik tempat agar diperbolehkan membayar sewa dengan mencicil. Dikurangi uang muka sewa tempat dan peralatan lain, Kris hanya mampu menyediakan 30 keping VCD untuk disewakan. Namun, dalam tempo tiga bulan, ia bisa menyediakan ratusan keping VCD.

Bisnis pulsa
Ketika penggunaan telepon seluler merambah kampus, Kris melihat peluang bisnis baru. Jadi sejak 2003 dia menyisihkan keuntungan penyewaan VCD sebesar Rp 300.000 per bulan untuk modal berjualan pulsa.

Hari demi hari, nama Kris mulai tenar di kampus sebagai penjual pulsa. Bahkan sebagian dosennya pun menitipkan uang (deposit) pulsa mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 200.000.
"Dosen-dosen yang juga dokter itu kan sibuk. Mereka mungkin berpikir, daripada harus parkir mobil dulu hanya untuk membeli pulsa, lebih baik beli pulsa lewat saya saja. Caranya gampang, tinggal SMS atau telepon," katanya.

Tidak hanya di kampus, Kris juga menerapkan teknik berjualan pulsa yang sama di beberapa rumah sakit sewaktu dia mendapat tugas praktik. Model pembelian pulsa seperti ini ternyata sangat menguntungkan. Uang deposit yang dititipkan kepadanya mencapai Rp 1,5 juta per bulan. Dana ini lalu dia manfaatkan sebagai modal mengembangkan usaha pulsa.

Saat menjalani tugas co-asisten dokter gigi pada akhir 2003, dia pindah indekos di daerah pusat Kota Bandung. Pada masa itu ia mengembangkan usaha dengan mendirikan kios pulsa di kawasan Geger Kalong Tengah.

Dari tempat itu, usahanya makin berkembang, hingga dia bisa memiliki 10 kios pulsa dan mempekerjakan 14 karyawan. Di samping itu, dia juga menitipkan sebagian barang dagangannya ke belasan kios milik orang lain.

Membantu mahasiswa
Pundi-pundi Kris kian menggemuk, tetapi ia tak lupa pada masa sulit pada awal kuliah. Ia bertekad "berbagi" dengan mahasiswa dan orang lain yang kesulitan keuangan. Dia lalu meminjamkan tiga sepeda motor kepada mahasiswa yang ingin bekerja dengannya.

Para mahasiswa ini membawa voucher pulsa dan nomor perdana telepon seluler untuk dijajakan di tempat-tempat ramai, seperti Pasar Kaget Gasibu dan Alun-alun Kota Bandung. Kawasan jelajah mereka pun makin luas hingga ke Lembang. Dalam sehari setiap mahasiswa tersebut bisa memperoleh keuntungan lebih dari Rp 10.000.

Dengan caranya sendiri, Kris juga membantu organisasi nirlaba yang membutuhkan dana. Ia menyuplai puluhan, bahkan ratusan, nomor perdana atau voucher pulsa untuk dijual para anggota organisasi tersebut. Keuntungan dari usaha ini sepenuhnya menjadi hak si penjual.

Sukses sebagai pengusaha dan meraih cita-cita sebagai dokter gigi, berbagai penghargaan lalu menghampirinya. Pada 2006, misalnya, Kris mendapat hadiah dari operator telepon seluler XL berupa tamasya gratis ke China dan Hongkong. Tahun 2008 dia memperoleh penghargaan sebagai Penjual Nomor Perdana Telkomsel Terbaik dan juara Red Outlet Competition (ROC) Telkomsel Bandung, Cianjur, dan Sumedang, Jawa Barat.

"Saya sebenarnya bukan orang yang mempunyai bakat berdagang atau berbisnis. Keadaanlah yang memaksa saya untuk bertahan dan berusaha terus agar kita bisa hidup, syukur-syukur dapat membantu orang lain," katanya.

Maka, Kris tak pelit berbagi pengalaman usaha, kepada para karyawannya sekalipun. Ia justru merasa perlu meyakinkan mereka untuk terus mengoptimalkan potensi diri, termasuk di bidang pendidikan formal. Itulah mengapa dia tak ragu membiayai lima karyawan yang bertekad menyelesaikan kuliah, dan tiga orang lainnya tahun ini menyusul masuk perguruan tinggi.

Soren (21), salah seorang karyawannya, merasa beruntung bisa bekerja dengan Kris. Dia dapat bekerja sambil tetap kuliah. Kini ia masuk semester empat pada Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia. Padahal, sebelumnya dia sempat bingung setelah gagal kuliah melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

"Waktu itu saya pikir tak mungkin bisa kuliah karena tak punya cukup dana untuk membiayai kuliah di perguruan tinggi yang semakin mahal," ujar Soren.

Kris selalu menanamkan keyakinan kepada semua karyawan bahwa tak ada yang mustahil bisa diraih. "Saya sendiri bisa menjadi dokter gigi karena gigih berusaha dan tak malu berjualan pulsa," katanya memberi contoh.

Satu lagi obsesi Kris yang diharapkan bisa terwujud tahun 2009 ini. Dia ingin membangun klinik kesehatan di Kecamatan Parongpong, sebuah daerah pelosok di kawasan Kabupaten Bandung Barat.

Mengapa? "Karena warga Parongpong yang sakit baru bisa menikmati pelayanan kesehatan yang layak di Kecamatan Lembang atau di Kota Cimahi, yang jaraknya sampai 15 kilometer hingga 20 kilometer dari Parongpong."

"Saya berharap mereka bisa memperoleh pelayanan kesehatan yang murah, mudah, dan dekat. Apalagi beberapa teman yang juga dokter sudah siap membantu," kata Kris.